Tuesday, October 28, 2008

Pilihan

(ngga tau sumbernya, dapet dari imel. klo ada yg tau sumbernya, kasi tau yah...)


Dear para ibu dan calon ibu

Sebuah renungan…, Semoga bermanfaat.

Salam

Saya seorang ibu dengan 2 orang anak , mantan direktur sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin anda termasuk orang yang menganggap saya orang yang berhasil dalam karir namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia.

Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika.
Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini.

Putera saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang bisa saya harapkan.

Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan kepergian Bik Inah pembantu kami. Hingga dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba.

Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak begitu hebat pada putri kami.

Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal. Maya begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi hal ini. Dan ketika saya sakit (saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di
rumah sakit selama 3 minggu) Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya "Hari ini Mama
sakit di Rumah sakit" , hanya itu saja. Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul.

Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka. Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12 jam kemudian, bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan
urusan mereka. Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika hari Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor.

Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya. Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami 6
orang anaknya. Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu waktu itu katanya sangat baik. Dan ayahpun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan penghasilan. Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau
mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi? Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan.

Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir fokus saya. Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu menjadi patokan saya.

Sampai akhirnya semua terjadi dan diluar kendali saya dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar. Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya! !! Sebuah sindiran dan protes Maya saat ini selalu terngiang di telinga.

Waktu itu bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putera satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya .. Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami. Pengorbanan bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi, setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, bik Inah meninggal
dunia di Rumah Sakit.

Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit.
Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya.
Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu kandungnya! Menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia.

Tragis !

Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya sering saya amati kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa bik Inah. Atas desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren. Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu padahal dia paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya.

Dan difoto "keluarga" itu tampak bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya. Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta.

Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor.

Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah.

Maya menulis :
"Ya Tuhan kenapa bik Inah meninggalkan Maya, terus siapa yang bangunin
Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang nyambut Maya kalau
pulang sekolah, Siapa yang ngingetin Maya buat berdoa, siapa yang Maya
cerita kalau lagi kesel di
sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur....... ...Ya Tuhan ,
Maya kangen banget sama bik Inah" bukankah itu seharusnya tugas saya
sebagai ibunya, bukan bik Inah ?

Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela berkorban apa saja untuk itu. Kadang saya merenung sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.

Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh tiada terbayang beratnya.

Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya". Biarkan saya seorang yang mengalaminya.

Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/therapy untuk menentramkan hati saya.
Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua.

Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin! Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya.

Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya.

Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni.

Dan semoga Tuhan mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanahNya pada saya.

Dan disetiap berdoa saya selalu memohon "YA Tuhan seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Tuhan, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram di sisiMu".

Semoga Tuhan mengabulkan doa saya.

-----------------------------------------------------------------------

Gue...
Gue FTM. Full time mom.
Gue jadi FTM lebih karena keadaan.
Hamil, mabok, sementara suami udah di luar kota. Maka daripada pusing ditengah jalan sambil nyetir motor trus kenapa-kenapa, mendingan gue out sekalian.

Waktu Darris udah lahir, gue tetep gak bisa balik kerja. Ibu gue bukan tipe yang bisa dititipin anak sementara gue kerja dengan tenang. Beliau, walau FTM, di rumah udah sibuk sendiri (ada asisten maupun ngga, sibuknya tetep sama :D). Maka gue seperti terjebak.

Gue bukan orang rumahan seperti ibu.
Gue suka ketemu orang baru. Gue gak suka suasana monoton.
Dan gue, yang modelnya begini, kudu stay di rumah (rumah ortu waktu itu).

Bisa ditebak, gue rada depressed.
Di rumah ortu (yang gue sering clash sejak gue bisa nalar), 24/7 (gue cuman keluar sebentar-sebentar ke minimarket, ke bank, kalo ibu belon nelpon gue mampir ke rumah temen yang jauhnya cuman beda gang dan masi satu RT), suami pulang dua minggu sekali (well, itu rata-rata, rekornya lima minggu), my mental is not quite healthy.

My life's plan goes to plan B.
Punya beberapa anak sebelum usia 35, trus balik ke 'dunia'. Balik jadi diri sendiri. Bukan si mama, bukan Ny. Suami.
Somehow, plan B cocok ama The Great Plan. Sebelum umur 31, insya Allah anak bakal udah 3. So maybe, just maybe, plan B might work.

Jadi gue sekarang tapa dulu di rumah. Ngurus dua (so far) pemberontak separatis ekstrim ini, hingga waktu berlalu dan mereka bisa mandiri jadi bisa gue tinggal. That's it. Just be patient.

Masalahnya gue bukan orang yang sabar.
Gue hobi liat kiri-kanan, dan suka iri sama perempuan lain yang walo anaknya dua, tiga, tetep bisa kerja. Meniti karir. Jadi 'seseorang'. Accountants, legal officers, jounalists, web designers, editors, managers, branch managers, region managers, just name it. Everything but just a mom. Because they still a mom. Being a mom, AND those other labels. While me, I'm just a mom...
Mereka bisa punya duit sendiri. Dari kerja kerasnya sendiri. Pengen apa-apa ngga sungkan karena harus pake uang dari suami, yang biasanya berjudul 'uang belanja kebutuhan bulanan keluarga'.

Di sisi lain, gue ngga tega ninggalin anak di rumah diurus pembantu doang kalo ngga ada keluarga sepuh yang ikut ngawasin.
Gue ngga bisa. Di jaman begini, gue ga punya nyali menyerahkan anak pada orang asing yang gue sama sekali gak kenal, dan dengan tenang pergi ke kantor mikirin urusan kantor.

So here I am, a bit twisted. Sometimes losing myself.
Dan cerita-cerita seperti diataslah yang bisa membangkitkan semangat gue (walo mungkin cuma sementara).

So...
What's the moral story?

Buat FTM: bersyukurlah dengan keadaan anda (gue ngomong sambil ngaca neh :D).
Anda bisa melototin anak anda setiap waktu (dan direpotin, diresein, ditantrumin, dijengkelin, kadang dibikin mau minggat aja). Memantau perkembangannya, andalah yang tahu lebih dulu kepinterannya yang baru (dan kenakalannya). Anda jugalah yang kelak akan bangga saat orang memuji anak anda "hebat ya, ya begitu kalo anak selalu diawasi/deket sama ibunya". Tapi hati-hati, anda juga yang akan kena bila "padahal ibunya gak kerja lho, kok anaknya bisa sampe gitu sih??". There's always two sides of a coin.

Buat working mom: pastikan asisten anda ganti tiap periode sekali, supaya ngga terlalu bonding dengan anak anda :D.
Kelak anda juga akan bangga bila ada yang memuji anak anda "hebat ya, padahal ibunya kerja lho..kok masi bisa ngedidik anak jadi pinter gitu ya". Tapi bisa juga "gitu dehhh klo ibunya kerja, anaknya kurang perhatian, jadi begitu...". There's always two sides of a coin.