Wednesday, May 30, 2007
Tentang Fidellynne
Dah bisa apa?
Bisa ngomong:
- yayah (manggil ayahnya)
- mama (manggil mbokde nya)
- habu (ibu)
- gak
- gapapah
- sisanya masi bahasa planet
Bisa protes. Terutama kalo lagi pegang suatu barang terus direbut. Kalo protes badannya dilempar ke belakang sambil ngamuk. Kalo lagi di baby-walker dan ngamuk, pasti bikin kebentur ke plastik yg nahan busa dibelakang kepala...hasilnya...makin kenceng nangisnya...hihihihiyy *anak nangis kok diketawain...mama yang aneeehhh*
(beda ama Darris, dulu Darris klo maenannya direbut, dia cuman ngliatin yang ngerebut trus liat maenan yang berpindah tangan, trus liat yg ngrebut lagi, trus...nyari maenan laen...:D kalo direbut lagi, liatin lagi trus ganti maenan. direbut lagi...sampe gak ada maenan laen...cuman tinggal bengong doang...kikikikikkkk)
Bisa tepuk tangan.
Bisa juga teplok sendok buburnya supaya bubur terbang ke lante...:D
Pinter nyembur kalo disuapin...
Klo tengkurep bisa muter 180 derajat, yang tadinya hadap utara jadi hadap selatan.
Kalo lagi dicebokin pupnya pake kapas, ikutan cebok...:D
Lebih bersih dong?
Ya jelas kaga...malah pupnya kena tangan dia dan kemana2...walhasil cebok aja yang pegangin kudu dua orang dewasa... *hiperbola banget gak sih?? tapi itulah kenyataannya..:P*
Pokoknya mah hidup lebih hidup sejak ada Fidellynne...*iklaaaaann kalee...*
Tingkahnya lebih heboh dari Darris. Lebih susah handlenya. Pethakilan, pencilakan, biyayakan..tapi ngambegan & nangisan...
Wahh, mama baru sadar ternyata Darris yang kayak gitu masi berasa sweet-angel dibandingin princess-kluaran-baru-model-bola-bekel ini...
Nakal?
Bandel?
Mokong?
Ndableg?
Alhamdulillaaaahhhh...
Mama pikir kalo Fidellynne gak kayak gini, gak ada yang namanya Fidellynne...
Bayangin deh...
Hamil Fidel sebulan (tapi gak tau klo lagi hamil), mama pergi roadshow.. *halahh*.. dari Surabaya naik pesawat ke Jakarta. Sendirian, karena Ayah sudah di Jakarta duluan. Bawa koper gede, travel bag tanggung, ransel sedeng, dan gendong Darris yang waktu itu 14 bulan. Di Jakarta kira-kira 3-4 hari. Mana Darris pake sakit segala. Di Jakarta ini mama sudah mulai aneh rasa di lidah. Gak ada makanan yang enak.
Pas di Jakarta ini sempat nyobain ke Kota Wisata Cibubur. Berangkat dari Mal Ciputra naek feeder Busway. Mayanlah berangkat tinggal duduk 45 menit nyampe deh. Pulangnya...ampuuuunnn dehh! Karena kemaleman, udah gak ada feeder yang balik ke Mal Ciputra lagi, kita terpaksa pake jalur tradisional. Angkot sampe terminal Kampung Rambutan, lanjut bis non patas sampe mal Ciputra. Dari mal naek taksi ke Duri Kepa, tempat kakak ipar.
Dari Jakarta naek kereta kelas bisnis ke Semarang. Sampe Semarang jam 2 pagi. Untung deh udah sama Ayah. Di Semarang ini mama maunya makanan yang enak & standar aja deh. Tapi ternyata gak nolong. Ke Pizza Hut, juga rasanya aneh. Masak beda daerah beda rasanya sih. Restoran gitu kan mestinya standar dimanapun juga. Di Semarang ini juga sempat beli beberapa bakpo buat camilan. Tapi...cepet busuk karena gak masuk kulkas. Walhasil mama sempat makan bakpo busuk tuh. Sampe sekarang belum doyan lagi tuh bakpo, padahal sebelumnya beli hampir tiap hari.
Di Semarang 3 harian juga. Pulang ke Surabaya naek kereta lagi. Untungnya kali ini kereta eksekutif. On time lagi. Dari Semarang jam 07.30, sampe Surabaya pas jam 13.30 sesuai tiket *tumbeeeennn*. Nunggu dijemput om Iwan ama tante Dhani jam 14.30. Karena blum makan siang, mampir dulu ke Tomodachi. Mama sempat khawatir gimana kalo rasanya semrawut juga. Tapi dasar mama, kena restoran enak mah rasanya gakpapah, malah doyan bangets...heheheh...Abis makan baru balik pulang.
Beberapa hari kemudian (ato sekitar semingguan ya? Lupa sih..:P) baru tau kalo ternyata hamil lagi...:D:D
Itu cerita pas bulan-bulan pertama hamil Fidellynne.
Pas terakhir-terakhir deket lahiran juga pada udah tau kan? Disini cerita lengkapnya.
Fidellynne gak bisa lahir normal karena kelilit ari-ari dua lilitan. Makanya mama gak ada bukaan bahkan kontraksi juga gak bagus. Pas di rekam jantung juga klo pas kontraksi, jantung Fidellynne turun detaknya. Malah sempat gak kedengeran.
Lahirnya juga telat 8 hari dari jadwal.
Kalo Fidellynne bukan tipe 'Fighter', mama gak tau gimana ceritanya.
Kesimpulannya...
Alhamdulillah Fidellynne giras, aktif...meski dalam kata lain berarti begidakan, ginjal-ginjal, rewel...
Met menjalani hidup bersama kami ya, princess...
Semoga kami bisa membimbingmu, menjadikanmu putri dalam arti sebenarnya, putri di dalam putri di luar...
Amin...
*buat yang gak fluent bahasa jawa, sorrriiiii...tapi ngerti kaaannn :D:D*
Saturday, May 26, 2007
Pesan Yang Tak Terucapkan
Saya buka kembali buku hidup saya, sebagai bahan perenungan bagi para orang tua
Tahun 2002 yang lalu saya harus mondar-mandir ke SD Budi Mulia Bogor. Anak sulung kami yang bernama Dika, duduk di kelas 4 di SD itu. Waktu itu saya memang harus berurusan dengan wali kelas dan kepala sekolah. Pasalnya menurut observasi wali kelas dan kepala sekolah, Dika yang duduk di kelas unggulan, tempat penggemblengan anak-anak berprestasi itu, waktu itu justru tercatat sebagai anak yang bermasalah.
Saat saya tanyakan apa masalah Dika, guru dan kepala sekolah justru menanyakan apa yang terjadi di rumah sehingga anak tersebut selalu murung dan menghabiskan sebagian besar waktu belajar di kelas hanya untuk melamun. Prestasinya kian lama kian merosot.
Dengan lemah lembut saya tanyakan kepada Dika "Apa yang kamu inginkan ?"
Dika hanya menggeleng.
"Kamu ingin ibu bersikap seperti apa ?" tanya saya
"Biasa-biasa saja" jawab Dika singkat.
Beberapa kali saya berdiskusi dengan wali kelas dan kepala sekolah untuk mencari pemecahannya, namun sudah sekian lama tak ada kemajuan. Akhirnya kamipun sepakat untuk meminta bantuan seorang psikolog.
Suatu pagi, atas seijin kepala sekolah, Dika meninggalkan sekolah untuk menjalani test IQ. Tanpa persiapan apapun, Dika menyelesaikan soal demi soal dalam hitungan menit. Beberapa saat kemudian, Psikolog yang tampil bersahaja namun penuh keramahan itu segera memberitahukan hasil testnya. Angka kecerdasan rata-rata anak saya mencapai 147 (Sangat Cerdas) dimana skor untuk aspek-aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan berkisar pada angka 140 - 160. Ada satu kejanggalan, yaitu skor untuk kemampuan verbalnya tidak lebih dari 115 (Rata-Rata Cerdas).
Perbedaan yang mencolok pada 2 tingkat kecerdasan yang berbeda itulah yang menurut Psikolog, perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Oleh sebab itu Psikolog itu dengan santun menyarankan saya untuk mengantar Dika kembali ke tempat itu seminggu lagi. Menurutnya Dika perlu menjalani test kepribadian.
Suatu sore, saya menyempatkan diri mengantar Dika kembali mengikuti serangkaian test kepribadian. Melalui interview dan test tertulis yang dilakukan, setidaknya Psikolog itu telah menarik benang merah yang menurutnya menjadi salah satu atau beberapa factor penghambat kemampuan verbal Dika. Setidaknya saya bisa membaca jeritan hati kecil Dika. Jawaban yang jujur dari hati Dika yang paling dalam itu membuat saya berkaca diri, melihat wajah seorang ibu yang masih jauh dari ideal.
Ketika Psikolog itu menuliskan pertanyaan "Aku ingin ibuku :...."
Dikapun menjawab : "membiarkan aku bermain sesuka hatiku, sebentar saja"
Dengan beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa selama ini saya kurang memberi kesempatan kepada Dika untuk bermain bebas. Waktu itu saya berpikir bahwa banyak ragam permainan-permainan edukatif sehingga saya merasa perlu menjadwalkan kapan waktunya menggambar, kapan waktunya bermain puzzle, kapan waktunya bermain basket, kapan waktunya membaca buku cerita, kapan waktunya main game di computer dan sebagainya.
Waktu itu saya berpikir bahwa demi kebaikan dan demi masa depannya, Dika perlu menikmati permainan-permainan secara merata di sela-sela waktu luangnya yang memang tinggal sedikit karena sebagian besar telah dihabiskan untuk sekolah dan mengikuti berbagai kursus di luar sekolah. Saya selalu pusing memikirkan jadwal kegiatan Dika yang begitu rumit. Tetapi ternyata permintaan Dika hanya sederhana : diberi kebebasan bermain sesuka hatinya, menikmati masa kanak-kanaknya.
Ketika Psikolog menyodorkan kertas bertuliskan "Aku ingin Ayahku ..."
Dikapun menjawab dengan kalimat yang berantakan namun kira-kira artinya "Aku ingin ayahku melakukan apa saja seperti dia menuntutku melakukan sesuatu"
Melalui beberapa pertanyaan pendalaman, terungkap bahwa Dika tidak mau diajari atau disuruh, apalagi diperintah untuk melakukan ini dan itu. Ia hanya ingin melihat ayahnya melakukan apa saja setiap hari, seperti apa yang diperintahkan kepada Dika. Dika ingin ayahnya bangun pagi-pagi kemudian membereskan tempat tidurnya sendiri, makan dan minum tanpa harus dilayani
orang lain, menonton TV secukupnya, merapikan sendiri koran yang habis dibacanya dan tidur tepat waktu. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua.
Ketika Psikolog mengajukan pertanyaan "Aku ingin ibuku tidak ..."
Maka Dika menjawab "Menganggapku seperti dirinya"
Dalam banyak hal saya merasa bahwa pengalaman hidup saya yang suka bekerja keras, disiplin, hemat, gigih untuk mencapai sesuatu yang saya inginkan itu merupakan sikap yang paling baik dan bijaksana. Hampir-hampir saya ingin menjadikan Dika persis seperti diri saya. Saya dan banyak orang tua lainnya seringkali ingin menjadikan anak sebagai foto copy diri kita atau
bahkan beranggapan bahwa anak adalah orang dewasa dalam bentuk sachet kecil.
Ketika Psikolog memberikan pertanyaan "Aku ingin ayahku tidak : .."
Dikapun menjawab "Tidak mempersalahkan aku di depan orang lain. Tidak mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan kecil yang aku buat adalah dosa"
Tanpa disadari, orang tua sering menuntut anak untuk selalu bersikap dan bertindak benar, hingga hampir-hampir tak memberi tempat kepadanya untuk berbuat kesalahan. Bila orang tua menganggap bahwa setiap kesalahan adalah dosa yang harus diganjar dengan hukuman, maka anakpun akan memilih untuk berbohong dan tidak mau mengakui kesalahan yang telah dibuatnya dengan
jujur. Kesulitan baru akan muncul karena orang tua tidak tahu kesalahan apa yang telah dibuat anak, sehingga tidak tahu tindakan apa yang harus kami lakukan untuk mencegah atau menghentikannya.
Saya menjadi sadar bahwa ada kalanya anak-anak perlu diberi kesempatan untuk berbuat salah, kemudian iapun bisa belajar dari kesalahannya. Konsekuensi dari sikap dan tindakannya yang salah adakalanya bisa menjadi pelajaran berharga supaya di waktu-waktu mendatang tidak membuat kesalahan yang serupa.
Ketika Psikolog itu menuliskan "Aku ingin ibuku berbicara tentang ....."
Dikapun menjawab "Berbicara tentang hal-hal yang penting saja".
Saya cukup kaget karena waktu itu saya justru menggunakan kesempatan yang sangat sempit, sekembalinya dari kantor untuk membahas hal-hal yang menurut saya penting, seperti menanyakan pelajaran dan PR yang diberikan gurunya. Namun ternyata hal-hal yang menurut saya penting, bukanlah sesuatu yang penting untuk anak saya.
Dengan jawabab Dika yang polos dan jujur itu saya dingatkan bahwa kecerdasan tidak lebih penting dari pada hikmat dan pengenalan akan Tuhan. Pengajaran tentang kasih tidak kalah pentingnya dengan ilmu pengetahuan.
Atas pertanyaan "Aku ingin ayahku berbicara tentang .....",
Dikapun menuliskan "Aku ingin ayahku berbicara tentang kesalahan-kesalahan nya. Aku ingin ayahku tidak selalu merasa benar,
paling hebat dan tidak pernah berbuat salah. Aku ingin ayahku mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepadaku".
Memang dalam banyak hal, orang tua berbuat benar tetapi sebagai manusia, orang tua tak luput dari kesalahan. Keinginan Dika sebenarnya sederhana, yaitu ingin orang tuanya sportif, mau mengakui kesalahannya dan kalau perlu meminta maaf atas kesalahannya, seperti apa yang diajarkan orang tua kepadanya.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan "Aku ingin ibuku setiap hari ........"
Dika berpikir sejenak, kemudian mencoretkan penanya dengan lancar "Aku ingin ibuku mencium dan memelukku erat-erat seperti ia mencium dan memeluk adikku"
Memang adakalanya saya berpikir bahwa Dika yang hampir setinggi saya sudah tidak pantas lagi dipeluk-peluk, apalagi dicium-cium. Ternyata saya salah, pelukan hangat dan ciuman sayang seorang ibu tetap dibutuhkan supaya hari-harinya terasa lebih indah. Waktu itu saya tidak menyadari bahwa perlakukan orang tua yang tidak sama kepada anak-anaknya seringkali oleh
anak-anak diterjemahkan sebagai tindakan yang tidak adil atau pilih kasih.
Secarik kertas yang berisi pertanyaan "Aku ingin ayahku setiap hari ....."
Dika menuliskan sebuah kata tepat di atas titik-titik dengan satu kata "tersenyum". Sederhana memang, tetapi seringkali seorang ayah merasa perlu menahan senyumannya demi mempertahankan wibawanya. Padahal kenyataannya senyuman tulus seorang ayah sedikitpun tidak akan melunturkan wibawanya, tetapi justru bisa menambah simpati dan energi bagi anak-anak dalam melakukan segala sesuatu seperti yang ia lihat dari ayahnya setiap hari.
Ketika Psikolog memberikan kertas yang bertuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku. ..."
Dikapun menuliskan "Aku ingin ibuku memanggilku dengan nama yang bagus"
Saya tersentak sekali! Memang sebelum ia lahir kami telah memilih nama yang paling bagus dan penuh arti, yaitu Judika Ekaristi Kurniawan. Namun sayang, tanpa sadar, saya selalu memanggilnya dengan sebutan Nang atau Le. Nang dalam Bahasa Jawa diambil dari kata "Lanang" yang berarti laki-laki. Sedangkan Le dari kata "Tole", kependekan dari kata "Kontole" yang berarti alat kelamin laki-laki. Waktu itu saya merasa bahwa panggilan tersebut wajar-wajar saja, karena hal itu merupakan sesuatu yang lumrah di kalangan masyarakat Jawa.
Ketika Psikolog menyodorkan tulisan yang berbunyi "Aku ingin ayahku memanggilku .."
Dika hanya menuliskan 2 kata saja, yaitu "Nama Asli". Selama ini suami saya memang memanggil Dika dengan sebutan "Paijo" karena sehari-hari Dika berbicara dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Sunda dengan logat Jawa medok. "Persis Paijo, tukang sayur keliling" kata suami saya.
Atas jawaban-jawaban Dika yang polos dan jujur itu, saya menjadi malu karena selama ini saya bekerja di sebuah lembaga yang membela dan memperjuangkan hak-hak anak. Kepada banyak orang saya kampanyekan pentingnya penghormatan hak-hak anak sesuai dengan Konvensi Hak-Hak Anak Sedunia. Kepada khalayak ramai saya bagikan poster bertuliskan "To Respect Child Rights is an Obligation, not a Choise" sebuah seruan yang mengingatkan bahwa "Menghormati Hak Anak adalah Kewajiban, bukan Pilihan". Tanpa saya sadari, saya telah melanggar hak anak saya karena telah memanggilnya dengan panggilan yang tidak hormat dan bermartabat.
Dalam diamnya anak, dalam senyum anak yang polos dan dalam tingkah polah anak yang membuat orang tua kadang-kadang bangga dan juga kadang-kadang jengkel, ternyata ada banyak Pesan Yang Tak Terucapkan.
Seandainya semua ayah mengasihi anak-anaknya, maka tidak ada satupun anak yang kecewa atau marah kepada ayahnya. Anak-anak memang harus diajarkan untuk menghormati ayah dan ibunya, tetapi para ayah (orang tua) tidak boleh membangkitkan amarah di dalam hati anak-anaknya. Para ayah harus mendidik anaknya di dalam ajaran dan nasehat ALLAH.
Perkawinan Bahagia
dikirim oleh:
Frieza Diane Gabriel
PT Datascrip
Dua orang yang baik, tapi, mengapa perkawinan tidak berakhir bahagia
Ibu saya adalah seorang yang sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya
dengan begitu gigih menjaga keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari,
memasak bubur yang panas untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi
hari hanya bisa makan bubur.
Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk anak-anak, karena
anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan nasi, dengan begitu
baru tidak akan lapar seharian di sekolah.
Setiap sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci
di rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikikt pun.
Menjelang malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi
seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur
orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.
Ibu saya adalah seorang wanita yang sangat rajin.
Namun, di mata ayahku, ia (ibu) bukan pasangan yang baik.
Dalam proses pertumbuhan saya, tidak hanya sekali saja ayah selalu
menyatakan kesepiannya dalam perkawinan, tidak memahaminya.
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang bertanggung jawab.
Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius dalam pekerjaan,
setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat libur juga masih
mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu istrirahat anak-anak,
ia adalah seorang ayah yang penuh tanggung jawab, mendorong anak-anak
untuk berpretasi dalam pelajaran.
Ia suka main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno.
Ayah saya adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha
besar seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami.
Hanya saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik,
dalam proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis
terisak secara diam diam di sudut halaman.
Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan
kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.
Dalam proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan
dalam perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya
mereka, dan mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik.
Sayangnya, dalam masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan
perkawinan mereka lalui dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh
dalam kebingungan, dan aku bertanya pada diriku sendiri :
Dua orang yang baik mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang
bahagia?
Pengorbanan yang dianggap benar.
Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara
perlahan-lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.
Di masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga
keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan
sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri.
Anehnya, saya tidak merasa bahagia; dan suamiku sendiri, sepertinya
juga tidak bahagia.
Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak, lalu,
dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan sepenuh
hati.
Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. .
Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai, suami
saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!
Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada
separoh lantai lagi yang belum di pel?
Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang
sangat tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya,
ibu juga kerap berkata begitu sama ayah.
Saya sedang mempertunjukkan kembali perkawinan ayah dan ibu, sekaligus
mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka.
Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan ?
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan
teringat akan ayah saya?
Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam
perkawinannya. Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam
mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih,
namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai
ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah tangga.
Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.
cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya sepertinya tengah
melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak
diiringi dengan perkawinan yang bahagia.
Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami,
menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel
di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku: apa yang kau butuhkan ?
Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit
tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu
kau bisa menemaniku! ujar suamiku.
Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada
yang mencuci pakaianmu? dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal
yang dibutuhkannya.
Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah
kau bisa lebih sering menemaniku.
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar
membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikmati kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari
ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami
memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara
pihak kedua.
Jalan kebahagiaan
Sejak itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkannya
di atas meja buku. Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan sebuah
daftar kebutuhanku.
Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan jelas, seperti misalnya, waktu
senggang menemani pihak kedua mendengar musik, saling memeluk kalau sempat,
setiap pagi memberi sentuhan selamat jalan bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan, tapi ada juga yang cukup sulit,
misalnya dengarkan aku, jangan memberi komentar.
Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia bilang akan
merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh.
Menurutku, ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada
saya, kalau tidak saya hanya boleh mendengar dengan serius, menurut
sampai tuntas, demikian juga ketika salah jalan.
Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang sulit dipelajari, namun,
jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam kepuasan kebutuhan kami
ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa hal yang gampang dikerjakan,
misalnya menyetel musik ringan, dan kalau lagi segar bugar merancang
perjalanan keluar kota.
Menariknya, pergi ke taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami,
setiap ada pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa
menghibur gejolak hati masing-masing.
Sebenarnya, kami saling mengenal dan mencintai juga dikarenakan kesukaan
kami pada taman flora, lalu bersama kita menapak ke tirai merah
perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke dalam suasana hati yang
saling mencintai bertahun-tahun silam.
Bertanya pada pihak kedua : apa yang kau inginkan, kata-kata ini telah
menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya
akhirnya melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka
terlalu bersikeras menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua,
bukan mencintai pasangannya dengan cara pihak kedua.
Diri sendiri lelahnya setengah mati, namun, pihak kedua tidak dapat
merasakannya, akhirnya ketika menghadapi penantian perkawinan, hati ini
juga sudah kecewa dan hancur.
Karena Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, setiap
orang pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia, asalkan
cara yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua!
Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkawinan yang baik, pasti
dapat diharapkan.
Friday, May 25, 2007
Anak-Anak Karbitan
oleh Dewi Utama Faizah
*) Dewi Utama Faizah, bekerja di Direktorat pendidikan TK dan SD Ditjen
Dikdasmen, Depdiknas, Program Director untuk Institut Pengembangan
Pendidikan Karakter divisi dari Indonesia Heritage Foundation.
Anak-anak yang digegas
Menjadi cepat mekar
Cepat matang
Cepat layu...
Pendidikan bagi anak usia dini sekarang tengah marak-maraknya. Dimana-mana
orang tua merasakan pentingnya mendidik anak melalui lembaga persekolahan
yang ada. Mereka pun berlomba untuk memberikan anak-anak mereka pelayanan
pendidikan yang baik. Taman kanak-kanak pun berdiri dengan berbagai rupa,
di
bertaburan di berbagai tempat. Tawaran berbagai macam bentuk pendidikan
ini
amat beragam. Mulai dari yang puluhan ribu hingga jutaan rupiah per
bulannya. Dari kursus yang dapat membuat otak anak cerdas dan pintar
berhitung, cakap berbagai bahasa, hingga fisik kuat dan sehat melalui
kegiatan menari, main musik dan berenang. Dunia pendidikan saat ini
betul-betul penuh dengan denyut kegairahan. Penuh tawaran yang menggiurkan
yang terkadang menguras isi kantung orangtua ...
Captive market I
Kondisi diatas terlihat biasa saja bagi orang awam. Namun apabila kita
amati lebih cermat, dan kita baca berbagai informasi di intenet dan
lileratur yang ada tentang bagaimana pendidikan yang patut bagi anak usia
dini, maka kita akan terkejut! Saat ini hampir sebagian besar
penyelenggaraan pendidikan bagi anak-anak usia dini melakukan kesalahan.
Di samping ketidak patutan yang dilakukan oleh orang tua akibat
ketidaktahuannya!
Anak-Anak Yang Digegas...
anak. Di antaranya yang paling menonjol adalah orientasi pada kemampuan
intelektual secara dini. Akibatnva bermunculanlah anak-anak ajaib dengan
kepintaran intelektual luar biasa. Mereka dicoba untuk menjalani akselerasi
dalam pendidikannya dengan memperoleh pengayaan kecakapan-kecakapan
akademik dl dalam dan di luar sekolah.
Kasus yang pernah dimuat tentang kisah seorang anak pintar karbitan ini
terjadi pada tahun 1930, seperti yang dimuat majalah New Yorker. Terjadi
pada seorang anak yang bernama William James Sidis, putra scorang psikiater.
Kecerdasan otaknya membuat anak itu segera masuk
walaupun usianya masih 11 tahun. Kecerdasannya di bidang matematika begitu
mengesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi
berbagai media masa. Namun apa yang terjadi kemudian ? James Thurber
seorang wartawan terkemuka. pada suatu hari menemukan seorang pemulung
mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Si anak ajaib yang
begitu dibanggakan dan membuat orang banyak berdecak kagum pada bcberapa
waktu silam.
Kisah lain tentang kehebatan kognitif yang diberdayakan juga terjadi pada
scorang anak perempuan bernama Edith. Terjadi pada tahun 1952, dimana
seorang Ibu yang bemama Aaron Stern telah berhasil melakukan eksperimen
menyiapkan lingkungan yang sangat menstimulasi perkembangan kognitif
anaknya sejak si anak masih benapa janin. Baru saja bayi itu lahir ibunya
telah memperdengarkan suara musik klasik di telinga sang bayi. Kemudian
diajak berbicara dengan mcnggunakan bahasa orang dewasa. Setiap saat sang
bayi dikenalkan kartu-kartu bergambar dan kosa kata baru. Hasilnya sungguh
mencengangkan! Di usia 1 tahun Edith telah dapat berbicara dengan kalimat
sempurna. Di usia 5 tahun Edith telah menyelesaikan membaca ensiklopedi
Britannica. Usia 6 tahun ia membaca enam buah buku dan Koran New York
Times setiap harinya. Usia 12 tahun dia masuk universitas. Ketika usianya
menginjak 15 lahun la menjadi guru matematika di
Aaron Stem berhasil menjadikan Edith anak jenius karena terkait dengan
kapasitas otak yang sangat tak berhingga. Namun khabar Edith selanjutnya
juga tidak terdengar lagi ketika ia dewasa. Banyak kesuksesan yang diraih
anak saat ia mcnjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bemakna dalam
kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.
Berbeda dengan banyak kasus legendaris orang-orang terkenal yang berhasil
mengguncang dunia dengan pcnemuannya. Di saat mereka kecil mereka hanyalah
anak-anak biasa yang terkadang juga dilabel sebagai murid yang dungu.
Seperti halnya Einsten yang mengalami kesulitan belajar hingga kelas 3 SD.
Dia dicap sebagai anak bebal yang suka melamun.
Selama berpuluh-puluh tahun orang begitu yakin bahwa keberhasilan anak di
masa depan sangat ditentukan oleh faktor kogtutif. Otak memang memiliki
kemampuan luar biasa yang tiada berhingga. Oleh karena itu banyak orangtua
dan para pendidik tergoda untuk melakukan "Early Childhood Training".
Era pemberdayaan otak mencapai masa keemasanmya. Setiap orangtua dan
pendidik berlomba-lomba menjadikan anak-anak mereka menjadi anak-anak yang
super (Superkids). Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90 % bermuatan kognitif
yang mengfungsikan belahan otak kiri. Sementara fungsi belahan otak kanan
hanya mendapat porsi 10% saja. Ketidakseimbangan dalam memfungsikan ke dua
belahan otak dalam proses pendidikan di sekolah sangat mencolok. Hal ini
terjadi sekarang dimana-mana, di Indonesia... .
"Early Ripe, Early Rot...!"
Gejala ketidakpatutan dalam mendidik ini mulai terlihat pada tahun 1960 di
Amerika. Saat orangtua dan para professional merasakan pentingnya
pendidikan bagi anak-anak semenjak usia dini. Orangtua merasa apabila
mereka tidak segera mengajarkan anak-anak mereka berhitung, membaca dan
menulis sejak dini maka mereka akan kehilangan "peluang emas" bagi
anak-anak mereka selanjutnya. Mereka memasukkan anak-anak mereka sesegera
mungkin ke Taman Kanak-Kanak (Pra Sekolah).
senang hati menerima anak-anak yang masih berusia di bawah usia 4 tahun.
Kepada anak-anak ini gurunya membelajarkan membaca dan berhitung secara
formal sebagai pemula.
Terjadinya kemajuan radikal dalam pendidikan usia dini di Amcrika sudah
dirasakan saat Rusia meluncurkan Sputnik pada tahun 1957. Mulailah "Era
Headstart" merancah dunia pendidikan.
membelajarkan wins dan matematika kepada anak sebanyak dan sebisa mereka
(tiada berhingga). Sementara mereka tidak tahu banyak tentang anak, apa
yang mereka butuhkan dan inginkan sebagai anak.
Puncak keoptimisan era Headstart diakhiri dengan pernyataan Jerome Bruner,
seorang psikolog dari Harvard University yang menulis sebuah buku terkenal
" The Process of Education" pada lahun 1960, ia menyatakan bahwa kompetensi
anak untuk belajar sangat tidak berhingga. Inilah buku suci pendidikan yang
mereformasi kurikulum pendidikan di Amerika. "We begin with the hypothesis
that any subject can be taught effectively in some intellectually honest
way to any child at any stage of development" .
Inilah kalimat yang merupakan hipotesis Bruner yang disalahartikan oleh
banyak pendidik, yang akhirnya menjadi bencana! Pendidikan dilaksanakan
dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang
dan cepat busuk... early ripe, early rot!
Anak-anak menjadi tertekan. Mulai dari tingkat pra sekolah hingga usia
SD. Di rumah para orangtua kemudian juga melakukan hal yang sama, yaitu
mengajarkan sedini mungkin anak-anak mereka membaca ketika Glenn Doman
menuliskan kiat-kiat praktis membelajarkan bayi membaca.
Bencana berikutnya datang saat Arnold Gesell memaparkan konsep
"kesiapan-readiness " dalam ilmu psikologi perkembangan temuannya yang
mendapat banyak decakan kagum. Ia berpendapat tentang "biological
limitations on learning'. Untuk itu ia menekankan perlunya dilakukan
intervensi dini dan rangsangan inlelektual dini kepada anak agar mereka
segera siap belajar apapun.
Tekanan yang bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah
membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak -anak menjadi "miniature
orang dewasa ". Lihatlah sekarang, anak-anak itu juga bertingkah polah
sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka berpakaian seperti orang
dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Di sisi lain media pun
merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film,
televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program teve yang belum pantas
ditonton anak-anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu
merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa.
sebagai seksual promosi yang menyesatkan. Pendek kata media telah memekarkan
bahasa. berpikir dan perilaku anak lumbuh kembang secara cepat.
Tapi apakah kita tahu bagaimana tentang emosi dan perasaan anak? Apakah
faktor emosi dan perasaan juga dapat digegas untuk dimekarkan seperti
halnya kecerdasan? Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya
sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit. Bisa saja anak terlihat
berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka
tidak seperti orang dewasa. Anak-anak memang terlihat tumbuh cepat di
berbagai hal tetapi tidak di semua hal. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda
dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Oleh karena perkembangan
emosi lebih rumit dan sukar, terkait dengan berbagai keadaan, Cobalah
perhatikan, khususnva saat perilaku anak menampilkan gaya"kedewasaan ",
sementara perasaannya menangis berteriak sebagai "anak".
Seperti sebuah lagu popular yang pernah dinyanyikan suara emas seorang
anak laki-laki "Heintje" di era tahun 70-an...
I'm Nobody'S Child
I'M NOBODY'S CHILD
I'M nobody's child I'm nobodys child
Just like a flower I'm growing wild
No mommies kisses
and no daddy’s smile
Nobody's touch me I'm nobody's child
Dampak Berikutnya Terjadi... ketika anak memasuki usia remaja
Akibat negatif lainnya dari anak-anak karbitan terlihat ketika ia
memasuki usia remaja. Mereka tidak segan-segan mempertontonkan berbagai macam
perilaku yang tidak patut. Patricia O'Brien menamakannya sebagai "The
Shrinking of Childhood”. " Lu belum tahu ya... bahwa gue telah melakukan
segalanya", begitu pengakuan seorang remaja pria berusia 12 tahun kepada
teman-temannya. "Gue tahu apa itu minuman keras, drug, dan seks "
serunya bangga.
Berbagai kasus yang terjadi pada anak-anak karbitan memperlihatkan
bagaimana pengaruh tekanan dini pada anak akan menyebabkan berbagai
gangguan kepribadian dan emosi pada anak. Oleh karena ketika semua
menjadi cepat mekar.... kebutuhan emosi dan sosial anak jadi tak dipedulikan!
Sementara anak sendiri membutuhkan waktu untuk tumbuh, untuk belajar dan
untuk berkembang, .... sebuah proses dalam kehidupannya !
Saat ini terlihat kecenderungan keluarga muda lapisan menengah ke atas
yang berkarier di luar rumah tidak menuliki waktu banyak dengan anak-anak
mereka. Atau pun jika si ibu berkarier di dalam rumah, ia lebih
mengandalkan tenaga "baby sitter" sebagai pengasuh anak-anaknva. Colette
Dowling menamakan ibu-ibu muda kelompok ini sebagai "Cinderella
Syndrome" yang senang window shopping, ikut arisan, ke salon memanjakan
diri, atau menonton telenovela atau buku romantis. Sebagai bentuk ilusi
menghindari kehidupan nyata vang mereka jalani.
Kelompok ini akan sangat bangga jika anak-anak mereka bersekolah di
lembaga pendidikan yang mahal, ikut berbagai kegiatan kurikuler,
ikut berbagai les, dan mengikuti berbagai arena, seperti lomba penyanyi
cilik, lomba model ini dan itu. Paraorangtua ini juga sangat bangga
jika anak-anak mereka superior di segala bidang, bukan hanya di sekolah.
Sementara orangtua yang sibuk juga mewakilkan diri mereka kepada baby
sitter terhadap pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka. Tidak jarang
para baby sitter ini mengikuti pendidikan parenting di lembaga pendidikan
eksekutif sebagai wakil dari orang tua.
ERA SUPERKIDS
Kecenderungan orangtua menjadikan anaknva "be special " daripada "be
average or normal semakin marak terlihat. Orangtua sangat ingin
anak-anak mereka menjadi "to excel to be the best". Sebetulnya tidak
ada yang salah.
Namun ketika anak-anak mereka digegas untuk mulai mengikuti berbagai
kepentingan orangtua untuk menyuruh anak mereka mengikuti beragam
kegiatan, seperti kegiatan mental aritmatik, sempoa, renang, basket,
balet, tari bali, piano, biola, melukis, dan banyak lagi lainnya...maka
lahirlah anak-anak super---"SUPERKIDS". Cost merawat anak superkids
ini sangat mahal.
Era Superkids berorientasi kepada "Competent Child". Orangtua saling
berkompetisi dalam mendidik anak karena mereka percaya "earlier is
better". Semakin dini dan cepat dalam menginvestasikan beragam pengetahuan
ke dalam diri anak mereka, maka itu akan semakin baik. Neil Posmant seorang
sosiolog Amerika pada tahun 80-an meramalkan bahwa jika anak-anak tercabut
dari masa kanak-kanaknya, maka lihatlah...ketika anak-anak itu menjadi dewasa,
maka ia akan menjadi orang dewasa yang ke kanak-kanakan!
BERBAGAI GAYA ORANGTUA
Kondisi ketidakpatutan dalam memperIakukan anak ini telah melahirkan
berbagai gayaorangtua (Parenting Style) yang melakukan kesalahan
-"miseducation" terhadap pengasuhan pendidikan anak-anaknya.
Elkind (1989) mengelompokkan berbagai gayaorangtua dalam pengasuhan,
antara lain:
Gourmet Parents-- (ORTU BORJU)
Mereka adalah kelompok pasangan muda yang sukses. Memiliki rumah bagus,
mobil mewah, liburan ke tempat-tempat yang eksotis di dunia, dengan
hidup kebarat-baratan. Apabila menjadi orangtua maka mereka akan cenderung
merawat anak-anaknya seperti halnya merawat karier dan harta mereka. Penuh
dengan ambisi! Berbagai macam buku akan dibaca karena ingin tahu isu-isu
mutakhir tentang cara mengasuh anak. Mereka sangat percaya bahwa tugas
pengasuhan yang baik seperti halnya membangun karier, maka "superkids"
merupakan bukti dari kehebatan mereka sebagai orangtua.
Orangtua kelompok ini memakaikan anak-anaknva baju-baju mahal bermerek
terkenal, memasukkannya ke dalam program-program eksklusif yang prestisius.
Keluar masuk restoran mahal. Usia 3 tahun anak-anak mereka sudah diajak
tamasya keliling dunia mendampingi orangtuanya. Jika suatu saat kita
melihat sebuah sekolah yang halaman parkirnya dipenuhi oleh berbagai merek
mobil terkenal, maka itulah sekolah dimana banyak kelompok orangtua
"gourmet " atau- kelompok borju menyekolahkan anak-anaknya.
College Degree Parents --- (ORTU INTELEK)
Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang menengah
keatas. Mereka sangat pcduli dengan pendidikan anak-anaknya. Sering melibatkan
diri dalam berbagai kegiatan di sekolah anaknya. Misalnya membantu
membuat majalah dinding, dan kegiatan ekstra kurikular lainnya.
Mereka percaya pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan
hidup. Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka "Superkids", apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik yang tinggi.
Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke sekolah mahal yang prestisius
sebagai buku bahwa mereka mampu dan percaya bahwa pendidikan yang baik
tentu juga harus dibayar dengan pantas.
Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap kurikulum
yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam banyak hal mereka
banyak membantu dan peduli dengan kondisi sekolah,
Gold Medal Parents --(ORTU SELEBRITIS)
Kelompok ini adalah kelompok orangtua Yang menginginkan anak-anaknya
menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka sering mengikutkan
anaknya ke berbagai kompctisi dan gelanggang. Adagelanggang ilmu
pengetahuan seperti Olimpiadc matematika dan sains yang akhir-akhir ini
lagi marak di
kontes menari, terkadang kontes kecantikan. Berbagai cara akan mereka
tempuh agar anak-anaknya dapat meraih kemenangan dan merijadi "seorang
Bintang Sejati ". Sejak dini mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi
"Sang Juara", mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis hingga none
abang cilik kelika anak-anak mereka masih berusia TK.
Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di
anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah menunggu di mulainya
lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak, penuh asap rokok, dan acara yang
molor menunggu datangnya tokoh anak dari
berkeringat, mata memerah karena keringat melelehi mascara mata kecil
mereka.
Mengharapkan acara segera di mulai dan anaknya akan kelular sebagai
pemenang. Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas
kertas. Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat perilaku
ambisi kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada tahun 70-an
seorang gadis kecil pesenam usia TK mengalami kelainan tulang akibat
ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus "bintang cilik" Yoan Tanamal
yang mengalami tekanan hidup dari dunia glamour masa kanak-kanaknya.
Kemudian menjadikannya pengguna dan pengedar narkoba hingga menjadi
penghuni penjara. Atau bintang cilik dunia Heintje yang setelah dewasa
hanya menjadi pasien doktcr jiwa. Gold medal parent menimbulkan banyak
bencana pada anak-anak mereka!
Pada tanggal 26 Mei lalu kita sasikan di TV bagaimana bintang cilik "Joshua"
yang bintangnya mulai meredup dan mengkhawatirkan orangtuanya.
Orangtua Joshua berambisi untuk kembali menjadikan anaknya seorang bintang dengan
kembali menggelar konser tunggal. Sebagian dari kita tentu masih ingat
bagaimana lucu dan pintarnya.Joshua ketika berumur kurang 3 tahun. Dia
muncul di TV sebagai anak ajaib karena dapat menghapal puluhan nama-nama
kepala negara. kemudian di usia balitanya dia menjadi penyanyi cilik
terkenal. Kita kagum bagaimana seorang bapak yang tamatan SMU dan bekerja
di salon dapat membentuk dan menjadikan anaknya seorang "superkid "
--seorang penyanyi sekaligus seorang bintang film,....
Do-it Yourself Parents
Merupakan kelompok orangtua yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan
menyatu dengan semesta. Mereka sering menjadi pelayanan professional di
bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di tempat
ibadah., di Posyandu dan di perpustakaan. Kelompok ini menyekolahkan
anak-anaknya di sekolah negeri yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan
keuangan mereka. Walaupun begitu kelompok ini juga bemimpi untuk menjadikan
anak-anaknya "Superkids"- -earlier is better". Dalam kehidupan sehari-hari
anak-anak mereka diajak mencintai lingkungannya. Mereka juga mengajarkan
merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok
ini merupakan kelompok penyayang binatang, dan mencintai lingkungan hidup
yang bersih.
Outward Bound Parents--- (ORTU PARANOID)
Untuk orangtua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan yang dapat
memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya. Tujuan mereka
sederhana, agar anak-anak dapat bertahan di dunia yang penuh dengan
permusuhan. Dunia di luar keluarga mereka dianggap penuh dengan marabahaya.
Jika mereka menyekolahkan anak-anaknya maka mereka Iebih memilih sekolah
yang nyaman dan tidak melewati tempat-tempat tawuran yang berbahaya.
Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini secara tak disengaja
juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep "Superkids " Mereka
mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang hebat agar dapat
melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya. Terkadang mereka
melatih kecakapan melindungi diri dari bahaya, seperti memasukkan
anak-anaknya "Karate, Yudo, pencak Silat" sejak dini. Ketidakpatutan
pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-anaknya adalah bahwa mereka
terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah tangga mereka, mudah
panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu mereka pikir akan membawa
dampak buruk kepada anak. Akibatnya anak-anak mereka menjadi "steril"
dengan lingkungannya.
Prodigy Parents --(ORTU INSTANT)
Merupakan kelompok orangtua yang sukscs dalam karier namun tidak memiliki
pendidikan yang cukup. Merceka cukup berada, namun tidak berpendidikan
yang baik. Mereka memandang kesuksesan mereka di dunia bisnis merupakan
bakat scmata. Oleh karena itu mercka juga memandang sekolah dengan sebelah
mata, hanya sebagai kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya.
'Tidak kalah mengejutkannya, mereka juga memandang anak-anaknya akan hebat
dan sukses seperti mereka tanpa memikirkan pendidikan seperti apa yang
cocok diberikan kepada anak-anaknya. Oleh karena itu mereka sangat mudah
terpengaruh kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah.
Buku-buku instant dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku
tentang "Kiat-Kiat Mengajarkan bayi Membaca" karangan Glenn Doman, atau
"Kiat-Kiat Mengajarkan Bayi Matematika " karangan Siegfried, "Berikan
Anakmu pemikiran Cemerlang " karangan Therese Engelmann, dan "Kiat-Kiat
Mengajarkan Anak Dapat Membaca Dalam Waktu 6 Hari " karangan Sidney
Ledson
Encounter Group Parents--(ORTU NGERUMPI)
Merupakan kelompok orangtua yang memiliki dan menyenangi pergaulan. Mereka
terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada atau terkadang
tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung). Terkadang mereka juga
merupakan kelompok orangtua yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Mereka
menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam membina
hubungan dengan orang lain. Sebagai akibatnya kelompok ini sering melakukan
ketidakpatutan dalam mendidik anak--anak dengan berbagai perilaku
"gang ngrumpi" yang terkadang mengabaikan anak. Kelompok ini banyak
membuang-buang waktu dalam kelompoknya sehingga mengabaikan fungsi mereka
sebagai orangtua. Atau pun jika mereka memiliki aktivitas di kelompokya
lebih berorientasi kepada kepentingan kelompok mereka. Kelompok ini
sangat mudah terpengaruh dan latah untuk memilihkan pendidikan bagi
anak-anaknya.
Menjadikan anak-anak mereka sebagai "Superkids" juga sangat diharapkan.
Namun banyak dari anak-anak mereka biasanya kurang menampilkan minat dan
prestasi yang diharapkan. Namun banyak dari anak-anak mereka biasanya
kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.
Milk and Cookies Parents-(ORTU IDEAL)
Kelompok ini merupakan kelompok orangtua yang memiliki masa kanak-kanak
yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang sehat dan manis.
Mereka cendcrung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya
dengan tulus. Mereka juga sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang
anak-anak mereka dengan penuh dukungan. Kelompok ini tidak berpeluang
menjadi oraugtua yang melakukan "miseducation " dalam merawat dan
mengasuh anak-anaknva. Mereka memberikan lingkungan yang nyaman kepada
anak-anaknya dengan penuh perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus
sebagai orang tua.
Mereka memenuhi rumah tangga mercka dengan buku-buku, lukisan dan musik
yang disukai oleh anak-anaknya. Mereka berdiskusi di ruang makan,
bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak mereka
untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak mereka pun
meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh kenangan indah.
Kehangatan hidup berkeluarga menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada
anak untuk percaya diri dan antusias dalam kehidupan belajar. Kelompok ini
merupakan kelompok orangtua yang menjalankan tugasnya dengan patut
kepada anak-anak mereka. Mercka bcgitu yakin bahwa anak membutuhkan suatu
proses dan waktu untuk dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya.
Dengan kata lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan
menemukan sendiri kekuatan didirinya. Bagi mereka setiap anak adalah
benar-benar scorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga
berbeda dan unik!
KAMU HARUS tAHU BAHWA TIADA SATU PUN YAN6 LEBIH TIN66I, AtAU LEBIH KUAT,
ATAU LEBIH BAIK, ATAU PUN LEBIH BERHARGA DALAM KEHIDUPAN NANTI DARIPADA
KENAN6AN INDAH, TERUTAMA KENAN6AN MAN1S DI MASA KANAK-KANAK. KAMU
MENDEN6AR BANYAK HAL TENTAN6 PENDIDIKAN, NAMUN BEBERAPA HAL YAN6 INDAH,
KENAN6AN BERHARGA YANG TERSIMPAN SEJAK KECIL ADALAH MUNGKIN ITU PENDIDIKAN
YANG TERBAIK. APABILA SESEORANG MENYIMPAN BANYAK KENAN6AN INDAN DI MASA
KECILNYA, MAKA KELAK SELURUH KEHiDUPANNYA AKAN TERSELAMATKAN. BAHKAN
APABILA HANYA ADA SATU SAJA KENAN6AN 1NDAH YAN6 TERSIAMPAN DALAM HATI
KITA, MAKA ITULAH KENAN6AN YAN6 AKAN MEMBERIKAN SATU HARI UNTUK
KESELAMATAN KITA"-DESTOYEVSKY'S BROTHERS KARAM0Z0V---
PERSPEKTIF SEKOLAH YANG MENGKARBIT ANAK
Kecenderungan sekolah untuk melakukan pengkarbitan kepada anak didiknya
juga terlihat jelas. Hal ini terjadi ketika sekolah berorientasi kepada
produk daripada proses pembelajaran. Sekolah terlihat sebagai sebuah
"Industri" dengan tawaran-tawaran menarik yang mengabaikan kebutuhan
anak.
rumah yang menumpuk.
Tugas-tugas dalam bentuk hanya lembaran kerja. Kemudian guru-guru yang
sibuk sebagai "Operator kurikulum" dan tidak punya waktu mempersiapkan
materi ajar karena rangkap tugas sebagai administrator sekolah Sebagai
guru kelas yang mengawasi dan mengajar terkadang lebih dari 40 anak, guru
hanya dapat menjadi "pengabar isi buku pelajaran " ketimbang menjalankan
fungsi edukatif dalam menfasilitasi pembelajaran. Di saat-saat tertentu
sekolah akan menggunakan "mesin-mesin dalam menskor" capaian prestasi yang
diperoleh anak setelah diberikan ujian berupa potongan-potongan mata
pelajaran. Anak didik menjadi dimiskinkan dalam menjalani pendidikan di
sckolah. Pikiran mereka diforsir untuk menghapalkan atau melakukan
tugas-tugas yang tidak mereka butuhkan sebagai anak. Manfaat apa yang
mereka peroleh jika guru menyita anak membuat bagan organisasi sebuah
birokrasi ? Manfaat apa yang dirasakan anak jika mereka diminta membuat
PR yang menuliskan susunan kabinet yang ada di pemerintahan? Manfaat apa
yang dimiliki anak jika ia disuruh menghapal kalimat-kalimat yang ada di
dalam buku pelajaran ? Tumpulnya rasa dalam mencerna apa yang dipikirkan oleh
otak dengan apa yang direfleksikan dalam sanubari dan perilaku-pcrilaku
keseharian mereka sebagai anak menjadi semakin senjang. Anak-anak tahu
banyak tentang pengetahuan yang dilatihkan melalui berbagai mata pelajaran
yang ada dalam kurikulum persekolahan, namun mereka bingung mengimplementasikan
dalam kehidupan nyata. Sepanjang hari mereka bersekolah di sekolah untuk sekolah
- dengan tugas-tugas dan PR yang menumpuk....
Namun sekolah tidak mengerti bahwa anak sebenarnya butuh bersekolah untuk
menyongsong kehidupannya !
Lihatlah, mereka semua belajar dengan cara yang sama. Membangun 90 %
kognitif dengan 10 % afektif. Paulo Freire mengatakan bahwa sekolah telah
melakukan "pedagogy of the oppressed" terhadap anak-anak didiknya. Dimana
guru mengajar anak diajar, guru mengerti semuanya dan anak tidak tahu
apa-apa, guru berpikir dan anak dipikirkan, guru berbicara dan anak
mendengarkan, guru mendisiplin dan anak didisiplin, guru memilih dan
mendesakkan pilihannya dan anak hanya mengikuti, guru bertindak dan anak
hanya membayangkan bertindak lewat cerita guru, guru memilih isi program
dan anak menjalaninya begitu saja, guru adalah subjek dan anak adalah objek
dari proses pembelajaran (Freire, 1993). Model pembelajaran banking system
ini dikritik habis-habisan sebagai masalah kemanusiaan terbesar. Belum lagi
persaingan antar sekolah. dan persaingan ranking wilayah....
Mengkompetensi Anak--- merupakan `KETIDAKPATUTAN PENDIDIKAN ?"
"Anak adalah anugrah Tuhan... sebagai hadiah kepada semesta alam, tetapi
citra anak dibentuk oleh sentuhan tangan-tangan manusia dewasa yang
bertanggungjawab. .. "(Nature versus Nurture).
Bagaimana ? Karena ada dua pengertian kompetensi, kompetensi yang
datang dari kebutuhan di luar diri anak (direkayasa oleh orang dewasa)
atau kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan dari dalam diri anak sendiri
Sebagai contoh adalah konsep kompetensi yang dikemukakan oleh John Watson
(psikolog) pada tahun 1920 yang mengatakan bahwa bayi dapat ditempa menjadi
apapun sesuai kehendak kita; sebagai komponen sentral dari konscp
kompetensi. Jika bayi-bayi mampu jadi pebelajar, maka mereka juga dapat
dibentuk melalui pembelajaran dini.
Kata-kata Watson yang sangat terkenal adalah sebagai berikut :
" Give me a dozen healthy infants, well formed and my own special world
to bring them up in, and I'll guarantee you to take any one at random and
train him to become any type of specialist I might select--doctor, lawyer,
artist, merchant chief and yes, even beggar and thief regardless of this
talents, penchants.,; , tendencies, vocations, and race of his ancestors".
Pemikiran Watson membuat banyak orang tua melahirkan "intervensi dini"
setelah mereka melakukan serangkaian tes Inteligensi kepada anak-anaknya.
1976. Dimana guru-guru melakukan serangkaian program tes untuk mengukur
"Kecakapan Dasar Minimum (Minimum Basic Skill) "dalam mata pelajaran
membaca dan matematika. Hasil dari pelaksanaan program ini dilaporkan
kolomnis pendidikan Fred Hechinger kepada New York Times sebagai berikut:
`The improvement in those areas were not the result of any magic program
or any singular teaching strategy, they were... simply proof that
accountability is crucial and that, in the past five years, it has paid
off in New Yersey".
Juga belajar dari biografi tiga orang tokoh legendaris dunia seperti
Eleanor Roosevelt, Albert Einstein dan Thomas Edison, yang diilustrasikan
sebagai anak-anak yang bodoh dan mengalami keterlambatan dalam akademik
ketika mereka bersekolah di SD kelas rendah. semestinya kita dapat
menyimpulkan bahwa pendidikan dini sangat berbahaya jika dibuatkan
kompetensi; kompetensi perolehan pengetahuan hanya secara kognitif. Ulah
karena hingga hari ini sekolah belum mampu menjawab dan dapat menampilkan
kompetensi emosi sosial anak dalam proses pembelajaran. Pendidikan anak
seutuhnya yang terkait dengan berbagai aspek seperti emosi, sosial,
kognitif pisik, dan moral belum dapat dikemas dalam pembelajaran di
sekolah secara terintegrasi. Sementara pendidikan sejati adalah pendidikan
yang mampu melibatkan berbagai aspek yang dimiliki anak sebagai kompetensi
yang beragam dan unik untuk dibelajarkan. Bukan anak dibelajarkan untuk di
tes dan di skor saja !. Pendidikan sejati bukanlah paket-paket atau kemasan
pembelajaran yang berkeping-keping, tetapi bagaimana secara spontan anak
dapat terus menerus merawat minat dan keingintahuan untuk belajar. Anak
mengenali tumbuh kembang yang terjadi secara berkelangsungan dalam
kehidupannya. Perilaku keingintahuan -"curiosity" inilah yang banyak
tercabut dalam sistem persekolahan kita.
Akademik Bukanlah Keutuhan Dari Sebuah Pendidikan !
"Empty Sacks will never stand upright"---George Eliot
Pendidikan anak seutuhnya tentu saja bukan hanya mengasah kognitif melalui
kecakapan akademik semata! Sebuah pendidikan yang utuh akan membangun
secara bersamaan, pikiran, hati, pisik, dan jiwa yang dimiliki anak
didiknya. Membelajarkan secara serempak pikiran, hati, dan fisik anak
akan menumbuhkan semangat belajar sepanjang hidup mereka. Di sinilah
dibutuhkannya peranan guru scbagai pendidik akadcmik dan pendidik
sanubari "karakter". Dimana mereka mendidik anak menjadi "good and smart"
-terang hati dan pikiran.
Sebuah pendidikan yang baik akan melahirkan "how learn to learn" pada
anak didik mereka. Guru-guru yang bersemangat memberi keyakinan kepada anak
didiknya bahwa mereka akan memperoleh kecakapan berpikir tinggi, dengan
berpikir kritis, dan cakap memecahkan masalah hidup yang mereka hadapi
sebagai bagian dari proses mental. Pengetahuan yang terbina dengan baik
yang melibatkan aspek kognitif dan emosi, akan melahirkan berbagai
kreativitas.
Leonardo da Vinci seorang pelukis besar telah menghabiskan waktunya ber
jam-jam untuk belajar anatomi tubuh manusia.
Thomas Edison mengatakan bahwa "genius is 1 percent inspiration and 99
percent perspiration ". Semangat belajar - "encourage' - TIdak dapat
muncul tiba-tiba di diri anak. Perlu proses yang melibatkan hati - kesukaan
dan kecintaan - belajar. Sementara di sekolah banyak anak patah hati
karena gurunya yang tidak mencintai mereka sebagai anak.
Selanjutnya misi sekolah lainnya yang paling fundamental adalah
mengalirkan "moral literacy" melalui pendidikan karakter. Kita harus
ingat bahwakecerdasan saja tidak cukup. Kecerdasan plus karakter inilah
tujuan sejati sebuah pendidikan (Martin Luther King, Jr). lnilah
keharmonisan dari pendidikan, bagaimana menyeimbangkan fungsi otak kiri
dan kanan, antara kecerdasan hati dan pikiran, antara pengetahuan yang
berguna dengan perbuatan yang baik ....
PENUTUP
Mengembalikan pendidikan pada hakikatnya untuk menjadikan manusia yang
terang hati dan terang pikiran--- "good and smart "--- merupakan tugas
kita bersama. Melakukan reformasi dalam pendidikan merupakan kerja keras yang
mesti dilakukan secara serempak, antara sekolah dan masyarakat, khususnya
antara guru dan orangtua. Pendidikan yang ada sekarang ini banyak yang
tidak berorientasi kepada kebutuhan anak sehingga tidak dapat memekarkan
segala potensi yang dimiliki anak. Atau pun jika ada yang terjadi adalah
ketidakseimbangan yang cenderung memekarkan aspek kognitif dan
mengabaikan faktor emosi.
Begitu juga orangtua. Mereka berkecenderungan melakukan training dini
kepada anak. Mereka ingin anak-anak mereka menjadi "SUPERKIDS". Inilah
fenomena yang sedang trend akhir-akhir ini. Inilah juga awal dari
lahirnya era anak-anak karbitan ! Lihatlah nanti...ketika anak-anak karbitan itu
menjadi dewasa, maka mereka akan menjadi orang dewasa yang kekanak-kanakan.
Sunday, May 20, 2007
Jalan Pagi
Masi seger...
Eh, kebetulan ucrit-ucrit mama pada bangun pagi...yawdah kita pergi ke playground *halah, playground...:D:D* deket kuburan situ (kalo Darris bilangnya pergi ke ayunan). Sekalian anter oleh-oleh coklat buat tante Emma di gang 6. *buwat yang laen...maap yaaaahhh, gak kebagian...kikikikikkk*
Oiyahh, tempat ayunan ini kapan hari masuk berita Green & Clean di Jawa Pos lhooo...
Pas jalan kesana, tau-tau di tengah jalan ada yuyu...
Darris kan lagi demen ama yuyu...
Diliatiiiin aja tuh yuyu...
Mpe meleng jalannya...
Trus-trus...ada mobil kijang lewat...kayaknya yang nyetir lagi belajar...jalannya pelan-pelan...
Mama : Duh, yuyunya kok ditengah jalan ya...nanti ketabrak mobil deh
Darris : *diem sambil merhatiin yuyu*
mobil lewat pelan-pelan...yuyu lolos dari roda depan...tapi gak lama kedengeran...cresss...mobil lewat, yuyu dah rata dengan paving
*...tuuhh kan...eemmm, Darris gak papa nih liat kejadian kayak gitu?*
Darris : Mama...yuyu...
Mama : Iya, yuyunya kena mobil ya...kasian ya...
Darris : Yuyu keinjek mobil ma... *heh?? keinjek...hwehehheheh*
Mama : Iya, abis yuyu ditengah jalan sih...makanya kalo jalan minggir yaa...biar gak kayak yuyu, jadi keinjek mobil yaa...
Darris : He'eh...yuyu penyet...
Mama : *sebetulnya masi kasian ama yuyunya...tapi pengen ngakak..:D:D*
Secara TKP udah deket sama ayunan, gak lama Darris sudah lupa kejadian itu dan sibuk nyobain satu-satu mainan di playground bareng si Ayah.
Nah, tempatnya kan basah tuh. Paginya kan ujan. Maka jadinya sandal dan celana Darris yang bagian bawah kotor dong. Karena kotor, didatengin laler. Maen menclok aja tuh laler di kaki Darris. Darris mulanya gak nyadar. Tapi mama 'cling! dapat ide nih!'...
Mama : Tuuuhh, kakinya kotor...jadi ada laler kan...laler suka yang kotor-kotor soalnya...
Darris : *noleh ke kakinya*... eh..eh.. *sambil hentakin kaki, trus menghindar dari laler..secara dia takut ama laler...kikikikkk*
Mama : Makanyaaa, gitu tuh...kalo kotor jadi didatengin laler...nanti pulang dibersihin yaa...*hmm, kayaknya Darris ngerti deh klo berkotor ria, maka laler dateng...*
Malemnya, Darris yang suka muter-muter dulu klo diajak cuci kaki-cuci tangan, diingetin kalo kotor nanti laler dateng, langsung nurut dehhh...hehehehehhh, asyiiikk, dapet satu senjataaa...
Thursday, May 17, 2007
Ayah Hilang di KL
MOSOK??
KOK BISA?
Tanggal 14-16 Mei 2007 ayah dapat tugas ke Malaysia, menghadiri seminar Microsoft sama Om Ucok temen kantor ayah.
Beh, kedengerannya keren amit yak? Kenyataannya? Juwalan Windows Vista...hweheheh...Yah, ndak papa lah, yang penting jalan-jalan thooo...:D:D
Tapi ayah sama Om Ucok ini beda flight, beda maskapai, dan beda jam keberangkatan. Ayah berangkat duluan pake AirAsia jam 8.30, Om Ucok pake Lion Air jam 9.30.
Sehari sebelumnya mama sudah cari info tentang aktifin sambungan internasional dari Xplore ayah. Tapi ternyata kudu deposit 1,5 jt...sial tuh XL, gak tau kita lagi bokek apah???? Akhirnya plan B, sampai di Malaysia ayah harus segera cari prepaid card nomer malay.
Nah, pesawat ayah kan jam 8.30 pagi WIB. Sampai siang ayah belum ngabari juga...Mama kan jadi cenut-cenut di pala...
Mosok segitu lama gak sampe-sampe sih...
Siangan, ada telpon dari kantor ayah. Om Wahyu. Rupanya Om Ucok yang juga sudah sampai, gak ketemu-ketemu sama ayah di bandara. Kan critanya ketemuan dulu di bandara, terus baru ke hotel sama-sama. Wong Om Ucok yang pegang voucher hotelnya. Karena gak ketemu ayah, Om Ucok telpon kantor semarang, kali aja ada kabar dari ayah. Om Wahyu kan gak ngerti juga. Akhirnya dia telpon mama, mungkin mama sudah dikontak ayah. Tapi ayah kan juga gak kontak sama sekali sama mama...
Makin pusing deh mama. Ayah kemana??
Mama jadi bingung. Gimana caranya bisa tau ayah ada dimana?
Akhirnya mama punya ide minta tolong orang malaysia dari skype. Search sana-sini, ketemu mbak-mbak. Mama jelasin situasinya, terus minta tolong ditelponin ke hotel untuk cari tau kali-kali ayah sudah sampe di hotel. Untung orangnya baek. Mau bantuin.
Tapiiiii...no result.
Katanya ayah belum cek in di hotel. Padahal itu udah jam 15.00 WIB.
Mama tambah khawatir...
Mama coba kontak Om Ucok tapi nomernya gak bisa. Lah, tadi dia kontak kantor semarang pake apa ya?
Mama terus ngontak Om Wahyu, nanyain nomer yang dipake Om Ucok. Ternyata nomernya memang yang gak bisa itu tadi. Akhirnya mama coba lagi nomernya. Eh, kali ini bisa. Jam 16.30an mama kontak Om Ucok, ternyata dia masi belum ketemu ayah dan sudah nunggu ayah di bandara selama 3 jam!
Tuink tuink...tambah puyenk deh mama...
Mo tanya siapa lagi?
Temen YM mama gak ada yang dari malay ato tinggal di malay.
Akhirnya mama curhat ke tante Winny.
Ternyata tante Winny bisa telpon internasional dari kantornya. Terus dicoba nelpon ke hotel ayah.
Alhamdulillah, ternyata ayah sudah cek in!
Lega deh mama...
Plong rasanya...
Palingga mama dah tau ayah gakpapa...
Begitu rasa kuatir mulai berkurang, rasa sebel mulai dateng...
Kenapa sih gak segera ngabari??? Bikin pusing ajah!!
Abis magrib, tiba-tiba di YM mama 'DJ Online'...
Biasanya kan salam pertama (setelah nge-buzz) "ayah..."
Kali ini, mama langsung nyamber "heh"...*sebeeelll gitu loohh, udah mo dampratin aja tuh critanya*
Jadi gini chatnya:
Mama : buzz
Mama : heh...*mama dah siap-siap ngamuk-ngamuk ini...tapi masi nunggu respon ayah...*
Ayah : buzz
Ayah : mama
Ayah : ucok hilang *heh??? piye to iki??? yang ilang, yang dicariin orang sak dunia, lha kok laporan temennya ilang...*
Mama langsung ilang marahnya, ganti ngakak dalam hati...
*mama langsung nyamber*
Mama : bukan, ayah yang ilang
Mama : Ucok malah bisa mama tlp
Mama : Ayah yg ilang tuh
Ayah : Ucok dmn?
dst...
Waaahhh, leganyaaa...
Ayah, jangan ilang lagi yaa...
Lain kali kalo pergi jauh lagi ama mama aja...enak kan klo ilang berduaan... heheheh... maunyaaaa...
*lhah, ucrits e ditinggal nang endi???...hweheheh*